Dunia
kemungkinan akan memasuki bagian puncak dari krisis deflationary. Waktunya mungkin antara tahun 2018 – 2023.Dalam dekade itu beberapa hal yang
menyangkut asset, investasi dan ekonomi akan mengalami gejolak akibat kontraksi
kredit. Kemungkinan:
Tahun 1971, ekonomi dunia memasuki ke dalam babak baru yang belum pernah dialami sejarah. Berangkat dari pemutusan hubungan antara emas dan dollar oleh presiden Nixon dengan Executive Order 11615 nya tanggal 15 Agustus, 1971 dilanjutkan dengan dibatalkannya perjanjian Bretton Woods tahun 1975 secara sepihak oleh Amerika Serikat. Sejak itu struktur sistem keuangan dunia berubah dari sistem yang berbasis emas ke sistem yang berbasis US dollar yang bermuara pada hutang. Hal ini memungkinkan US (pemerintah US dan rakyatnya) melakukan defisit (besar pasak dari pada tiang, besar pengeluaran dari pada penghasilan) yang bekepanjangan. Kredit (hutang) tumbuh secara eksponensial sejak kotak pandora dibuka Richard Nixon tahun 1971.
- Harga saham akan turun, dan indeks DJIA yang sekarang pada level 22.000an bisa jatuh ke level 4000 – 5000, bahkan mungkin diteruskan ke level 3000an.
- Harga emas akan jatuh ke level $ 800 - $ 900 per oz.
- Harga minyak akan menyentuh level di sekitar $30 per bbl. Confidence level kami cukup rendah mengenai perkiraan ini. Harga minyak adalah yang paling sulit diperkirakan.
- Harga property juga akan jatuh dan pasar membeku, tidak banyak transaksi.
- Harga US dollar terhadap mata uang lainnya akan mengalami penguatan. Dalam Rupiah kemungkinan akan mencapai Rp 17000 sampai Rp 25000 per dollarnya.
- Harga bond/surat obligasi pemerintah jangka pendek yang (dianggap) berkualitas, seperti yang dikeluarkan oleh US, Jerman dan Swiss akan diborong dan nilainya naik (yieldnya turun). Tetapi bond-bond yang dianggap kurang berkualitas seperti SUN (Surat Utang Negara) Indonesia, akan turun dan yieldnya akan naik.
Latar
belakangnya;
Tahun 1971, ekonomi dunia memasuki ke dalam babak baru yang belum pernah dialami sejarah. Berangkat dari pemutusan hubungan antara emas dan dollar oleh presiden Nixon dengan Executive Order 11615 nya tanggal 15 Agustus, 1971 dilanjutkan dengan dibatalkannya perjanjian Bretton Woods tahun 1975 secara sepihak oleh Amerika Serikat. Sejak itu struktur sistem keuangan dunia berubah dari sistem yang berbasis emas ke sistem yang berbasis US dollar yang bermuara pada hutang. Hal ini memungkinkan US (pemerintah US dan rakyatnya) melakukan defisit (besar pasak dari pada tiang, besar pengeluaran dari pada penghasilan) yang bekepanjangan. Kredit (hutang) tumbuh secara eksponensial sejak kotak pandora dibuka Richard Nixon tahun 1971.
Pada masa sistem berbasis emas, defisit dan hutang
ada batasnya. Pada saat cadangan emas suatu negara menipis, maka negara itu
dipaksa untuk mengetatkan ikat pinggang. Sejak tahun 1975, pembatas itu sudah
ditiadakan. US (pemerintahnya dan konsumennya) bisa berhutang tanpa agunan dan
tanpa ada batas-batas yang jelasnya. Setidaknya, salah satu batasnya adalah
kepercayaan, kemampuan membayar hutang dan kesadaran bahwa hutang adalah beban.
Itu adalah sebagian dari batas-batas yang tidak bisa dikuantisasi. Selanjutnya,
uang/kredit diciptakan secara berlebihan (kata berlebihan bersifat relatif)
saat ini dan menghasilkan bubble hutang
dengan ukuran yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Cepat atau lambat bubble ini akan meletus, syukur-syukur
mengempis perlahan-lahan, kontraksi kredit secara perlahan akan menghasilkan
krisis yang sifatnya deflationary
ringan berkepanjangan.
Meningkatnya konsumsi yang dipicu oleh gelombang
demografi generasi Baby Boomer
berubah menjadi pesta spekulasi dan bubble
pada puncak pola konsumsi Baby Boomer
tahun 2002 – 2007. Pesta pasti ada akhirnya dan bubble pasti meletus. Puncak konsumsi yang dilatar-belakangi oleh Baby Boomer terjadi pada tahun 2002 –
2007. Kemudian Baby Boomer yang
pertama akan memasuki masa pensiun pada tahun 2014. Pola konsumsi mereka dimasa
lalu membuat tingkat simpanan pensiun mereka rendah dan dianggap tidak
mecukupi. Hutang harus dibayar atau dikemplang. Bisa diduga bahwa konsumsi akan
menurun ketika Baby Boomer
mengencangkan ikat pinggang dan sektor finansial akan mengalami tekanan jika Baby Boomer mengemplang hutang mereka.
Kontraksi kredit sudah berlangsung di sektor konsumsi, lebih tepatnya sektor
kredit perumahan di US. Apakah hal ini akan merambat ke sektor lain yang
penggunaannya lebih ke arah permainan spekulasi? Entah lah.
Cina yang memperoleh “keuntungan” dari
ke(tidak)bijaksanaan the Federal Reserves (the Fed) dan pesta konsumsi Baby Boomer, yang kemudian mengobarkan bubble disektor (saham dan) properti
akan mengalami tekanan karena meletusnya bubble
di sektor properti. Seperti halnya bubble
saham Cina yang meletus pada tahun 2008, bubble
properti Cina akan meletus. Tinggal menunggu waktunya.
Entah bubble
yang mana yang akan meletus lebih dulu, apakah bubble kredit di US, saham di US, atau bubble properti di Cina. Pada saat salah satu bubble meletus sangat mungkin akan disusul oleh bubble yang lain.
Dampaknya adalah krisis kredit, kontraksi kredit,
seperti yang pernah terjadi sebelumnya yaitu pada krisis subprime 2008. Kali ini akan lebih besar dari pada bubble teknologi Nasdaq tahun 2000 atau
krisis subprime tahun 2008. Harga
saham akan jatuh, harga emas juga tidak akan imun, harga bahan komoditi dan
minyak nyungsep.Negara-negara yang berbasis komoditi seperti
Australia, Canada, negara Timur Tengah penghasil minyak, Indonesia, dimana di
banyak negara ini bubble propertinya
masih merah membara, akan terkena dampaknya paling parah.
Indonesia yang ekonominya berbasis komoditi, sudah
mengalami tekanan sejak tahun 2008. Nilai rupiah telah turun dari puncaknya Rp
8.500 per US dollar ke $ 13.500 pada saat ini. Di saat krisis deflationary mendatang, nilai rupiah
akan nyungsep ke kisaran Rp 17.000
sampai Rp 25.000 per dollar. Pada saat itu BI (Bank Indonesia) akan merenspons
dengan ke(tidak)bijaksanaan BI yang menyangkut rupiah dan rekening bank yang mungkin
menyulitkan anda yang punya uang dan simpanan. Apakah seperti tahun 1998? Mungkin lebih parah lagi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar