Definisi media popular tentang pelonggaran kuantitatif berfokus pada
konsep bank sentral meningkatkan ukuran neraca mereka untuk meningkatkan
jumlah kredit yang tersedia kepada debitur. Untuk membuat itu terjadi,
bank sentral menerbitkan uang baru dan menggunakannya untuk membeli aset
dari bank lain. Idealnya, uang tunai yang diterima bank atas aktiva
kemudian dapat dipinjamkan kepada debitur. Idenya adalah bahwa dengan
membuat lebih mudah untuk mendapatkan pinjaman, suku bunga akan turun
dan konsumen dan bisnis akan meminjam dan membelanjakannya. Secara
teoritis, hasilnya akan meningkatkan pengeluaran konsumsi, yang
meningkatkan permintaan barang dan jasa, mendorong penciptaan kerja dan,
akhirnya, menciptakan vitalitas ekonomi.
Apakah pelonggaran kuantitatif berfungsi ata tidak merupakan subyek perdebatan yang cukup panjang. Ada beberapa contoh historis yang jelas dimana bank sentral meningkatkan pasokan uang. Proses ini sering disebut sebagai "pencetakan uang", meskipun itu dilakukan secara elektronik dengan menambah kredit rekening bank dan tidak melibatkan pencetakan.
Sementara memacu inflasi untuk menghindari deflasi adalah salah satu tujuan pelonggaran kuantitatif, inflasi terlalu banyak bisa menjadi konsekuensi yang tidak diinginkan. Zimbabwe (di tahun 1920-an) dan Jerman (tahun 2000-an) terlibat dalam apa yang banyak ekonom lihat sebagai pelonggaran kuantitatif. Dalam kedua kasus, hasilnya adalah hiperinflasi. Namun, ekonom modern banyak yang tidak yakin bahwa upaya negara-negara ini memenuhi syarat sebagai pelonggaran kuantitatif.
Tahun 2001-2006, Bank of Japan meningkatkan cadangan mata uangnya dari 5 triliun yen menjadi 25 triliun yen. Kebanyakan ahli melihat usaha ini sebagai kegagalan. Tetapi sekali lagi, ada perdebatan mengenai apakah upaya Jepang ini dapat dikategorikan sebagai pelonggaran kuantitatif.
Langkah ekonomi di Amerika Serikat dan Inggris selama 2009-10 juga menemui ketidaksetujuan atas definisi dan efektifitas. Negara Uni Eropa tidak diperkenankan untuk terlibat dalam pelonggaran kuantitatif berdasarkan masing-masing negara, karena setiap negara menggunakan mata uang bersama dan harus tunduk kepada bank sentral.
Ada juga argumen bahwa QE memiliki nilai psikologis. Para ahli umumnya bisa sepakat bahwa pelonggaran kuantitatif adalah pilihan terakhir bagi para pembuat kebijakan moneter yang putus asa. Ketika tingkat suku bunga mendekati nol, tetapi perekonomian masih terhenti, masyarakat mengharapkan pemerintah untuk mengambil tindakan. Pelonggaran kuantitatif, bahkan jika tidak bekerja, menunjukkan tindakan dan kepedulian dari pihak pembuat kebijakan. Bahkan jika mereka tidak dapat memperbaiki situasi, mereka setidaknya bisa menunjukkan aktivitas, yang dapat memberikan dorongan psikologis kepada investor. Tentu saja, dengan membeli aset, bank sentral menghabiskan uang yang telah diciptakannya, dan ini memiliki risiko. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang apa yang akan terjadi ketika bank sentral menjual asset-aset yang telah dibelinya, dimana berarti mengambil uang dari sirkulasi dan memperketat jumlah uang beredar.
Bahkan penemuan pelonggaran kuantitatif diselimuti kontroversi. Beberapa memberikan kredit kepada ekonom John Maynard Keynes sebagai orang yang mengembangkan konsep, beberapa mengutip Bank of Japan untuk menerapkan hal itu; lainnya menyebutkan ekonom Richard Werner, yang menciptakan istilah itu.
Setidaknya, pelonggaran kuantitatif ini menjadi senjata utama bank sentral diseluruh dunia untuk memerangi krisis kredit beberapa tahun silam, dan sampai saat inipun langkah-langkah pelonggaran kuantitaif belum usai.
Apakah pelonggaran kuantitatif berfungsi ata tidak merupakan subyek perdebatan yang cukup panjang. Ada beberapa contoh historis yang jelas dimana bank sentral meningkatkan pasokan uang. Proses ini sering disebut sebagai "pencetakan uang", meskipun itu dilakukan secara elektronik dengan menambah kredit rekening bank dan tidak melibatkan pencetakan.
Sementara memacu inflasi untuk menghindari deflasi adalah salah satu tujuan pelonggaran kuantitatif, inflasi terlalu banyak bisa menjadi konsekuensi yang tidak diinginkan. Zimbabwe (di tahun 1920-an) dan Jerman (tahun 2000-an) terlibat dalam apa yang banyak ekonom lihat sebagai pelonggaran kuantitatif. Dalam kedua kasus, hasilnya adalah hiperinflasi. Namun, ekonom modern banyak yang tidak yakin bahwa upaya negara-negara ini memenuhi syarat sebagai pelonggaran kuantitatif.
Tahun 2001-2006, Bank of Japan meningkatkan cadangan mata uangnya dari 5 triliun yen menjadi 25 triliun yen. Kebanyakan ahli melihat usaha ini sebagai kegagalan. Tetapi sekali lagi, ada perdebatan mengenai apakah upaya Jepang ini dapat dikategorikan sebagai pelonggaran kuantitatif.
Langkah ekonomi di Amerika Serikat dan Inggris selama 2009-10 juga menemui ketidaksetujuan atas definisi dan efektifitas. Negara Uni Eropa tidak diperkenankan untuk terlibat dalam pelonggaran kuantitatif berdasarkan masing-masing negara, karena setiap negara menggunakan mata uang bersama dan harus tunduk kepada bank sentral.
Ada juga argumen bahwa QE memiliki nilai psikologis. Para ahli umumnya bisa sepakat bahwa pelonggaran kuantitatif adalah pilihan terakhir bagi para pembuat kebijakan moneter yang putus asa. Ketika tingkat suku bunga mendekati nol, tetapi perekonomian masih terhenti, masyarakat mengharapkan pemerintah untuk mengambil tindakan. Pelonggaran kuantitatif, bahkan jika tidak bekerja, menunjukkan tindakan dan kepedulian dari pihak pembuat kebijakan. Bahkan jika mereka tidak dapat memperbaiki situasi, mereka setidaknya bisa menunjukkan aktivitas, yang dapat memberikan dorongan psikologis kepada investor. Tentu saja, dengan membeli aset, bank sentral menghabiskan uang yang telah diciptakannya, dan ini memiliki risiko. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang apa yang akan terjadi ketika bank sentral menjual asset-aset yang telah dibelinya, dimana berarti mengambil uang dari sirkulasi dan memperketat jumlah uang beredar.
Bahkan penemuan pelonggaran kuantitatif diselimuti kontroversi. Beberapa memberikan kredit kepada ekonom John Maynard Keynes sebagai orang yang mengembangkan konsep, beberapa mengutip Bank of Japan untuk menerapkan hal itu; lainnya menyebutkan ekonom Richard Werner, yang menciptakan istilah itu.
Setidaknya, pelonggaran kuantitatif ini menjadi senjata utama bank sentral diseluruh dunia untuk memerangi krisis kredit beberapa tahun silam, dan sampai saat inipun langkah-langkah pelonggaran kuantitaif belum usai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar